Kamis, 12 Januari 2017

Housework

Barusan saya melihat share seorang sahabat lewat di timeline FB saya. Tentang persepsi bahwa dengan menikah, seorang laki-laki akan menemukan orang yang dapat mengurus dirinya, mencuci bajunya, memasak makanannya, membersihkan rumahnya, mengasuh anak-anaknya. Ini mau nyari istri apa pembantu?

Well, share FB tersebut membuat saya reflect ke kehidupan saya. Saya dibesarkan oleh seorang ibu yang memilih melepas pekerjaannya untuk mendidik anak-anaknya di rumah. Bahasa kerennya: full time mom. Maka, di rumah saya, ayah adalah sosok yang terima beres, rumah bersih, masakan siap, anak-anak kenyang dan ceria. Meskipun demikian, ayah ternyata bisa menggantikan peran ibu ketika ibu diopname di rumah sakit. Beliau memasak dan mengurus kami yang masih kecil-kecil.

Ayang, dibesarkan oleh seorang ibu yang sehari-harinya bekerja di luar rumah. Beliau adalah seorang guru. Maka, di rumah Ayang, semua penghuni rumah bahu membahu mengerjakan houseworks. Ayang terbiasa menyapu, mengepel, dan mencuci piring kotornya sendiri. Bahkan papa mertua saya hobi bersih-bersih dan nyiram tanaman.

Suatu pagi, saat Ayang sedang mengunjungi saya di rumah Palembang dalam rangka libur lebaran (kami sedang LDR ketika itu), Ayang keluar kamar dan mengambil sapu. Saya, sedang leyeh-leyeh nonton OVJ. Saat Ayang sedang mengambil ancang-ancang, Ibu saya muncul, lalu menegur saya. Beliau menyuruh saya yang menyapu. Ayang bilang bahwa ia biasa menyapu pagi-pagi di rumah. Namun Ibu saya keukeuh tidak memperbolehkan menantunya bersih-bersih. Jadilah saya yang menyapu dan Ayang bingung mau ngapain.

Saat saya dan Ayang hidup serumah, saya benar-benar melarangnya mengerjakan household chores. Alasannya karena saya sedih melihat Ayang capek keringetan. Maka semuanya saya kerjakan. Sampai suatu hari saya sedang berkutat dengan cucian (nyuci pake tangan bo!), Ayang mendadak mendekati bak cucian piring dan mulai membasuh piring-piring kotor. Saya bilang gak usah, biar saya aja yang ngerjain nanti. Ayang jawab gakpapa, pengen bantu, kasian saya lagi sibuk nyuci. Itulah pertama kali saya mengizinkan Ayang mengerjakan pekerjaan rumah.

Selanjutnya, saya keterusan. Hahaha.

Awalnya inisiatif Ayang sendiri, kayak mencuci piring tadi. Lama-lama saya minta tolong angkat jemuran. Lalu melipat baju. Kemudian nyetrika. LoL.

Setelah punya rumah sendiri akhirnya kami punya semacam pembagian tugas. Saya mencuci dan menjemur. Ayang buang sampah. Ayang bersihin kamar mandi. Saya masak. Ayang nyetrika kaos. Saya nyetrika kemeja kerja.

Jadi menurut saya, menikah itu kerja sama, saling membantu, tenggang rasa, dan tepo seliro (buset PPKn banget!). Namanya sama pasangan hidup ya harus sayang, masa tega biarin istri capek keringetan ngosrek lantai kamar mandi. Toh pas menikah, yang disebutkan adalah ijab qobul, bukan kontrak kerja.

Btw, ibu saya terkadang masih ngomelin saya kalau beliau telpon tanya menantunya sedang apa dan saya jawab sedang cabut rumput. Hahah.

Bye.

Minggu, 08 Januari 2017

Menikah dan Perubahan

Memang yah, menikah itu mengubah orang. Contoh kasus: setelah hampir 5 tahun menikah, saya bukan lagi orang yang sama dengan ketika masih lajang dulu.

Eits, jangan kebawa serius dulu. Saya cuma ingin membahas hal-hal yang ringan seperti kesukaan.

Benar bahwa dalam pernikahan dibutuhkan kompromi, untuk menjaga kewarasan dan keharmonisan rumah tangga. Seperti Ayang, yang berkompromi dengan kesukaan saya pada warna pink, sementara pink adalah warna yang 'gak Ayang banget'. Maka ia tak protes manakala saya membelikannya kaos pink agar bisa matching dengan jilbab pink saya. Saya pun berkompromi dengan kesukaan Ayang pada tempe, meskipun saya adalah #timtahu. Maka saya memasukkan aneka olahan tempe ke menu harian kami.

Termasuk jenis musik yang kami dengar. Well, kami adalah anak 90-an yang dibesarkan dengan alunan lagu boyband macam BSB, westlife, boyzone, dll. Maka gak ada debat dalam lagu boyband kami. Kami seiya sekata ketika karaoke dan sepakat memilih "I want it that way" atau "I lay my love on you". LOL.

Tetapi makin ke sini, pilihan lagu kami makin beragam. Ayang makin nyaman menyanyikan lagu "Haru-haru" Big Bang, hasil saya mempengaruhi Ayang untuk ikut terhanyut dalam Hallyu Wave. Saya pun makin gak tahu malu ikut nyambung di lagu "If you only knew" Shinedown, padahal saya dulu emoh banget sama band-band metal gitu.

Jadi menikah itu berarti perubahan diri karena orang akan berkompromi agar dapat menerima dan hidup bahagia dengan pasangan yang dipilih untuk menemani hidupnya. Karena bayangin aja, kalau saya masih keukeuh gak suka metal, betapa menderitanya saya karaokean sama Ayang di tengah musik yang gedebak-gedebuk gitu.

Saya nulis ini karena weekend kemaren kami berdua maraton nonton Goblin sampai episode 5. Drama korea kedua setelah Pasta yang Ayang betah nontonnya, padahal doi gak hobi ke'Korea'an. Qiqiqiqi.

Dah gitu aja, bye.

Sabtu, 07 Januari 2017

Ngomongin Orang


Jadi rencana Sabtu ini mau jalan-jalan ke Bintaro gagal total.
#sigh

Suits tv sigh donna paulsen suits usa

Gara-gara saya ngambek sampe sore.
#anothersigh

Penyebabnya dimulai pagi ini, ketika saya masih leyeh-leyeh di kasur ditemenin Ayang. Maklum yes, weekend, jadinya abis subuh bobo lagi, trus pas bangun masih males gerak.

Seperti biasa kegiatan leyeh-leyeh gini gak lepas dari HP. Dan saya asyik baca chat di grup rahasia yang anggotanya (termasuk saya) mendedikasikan grup ini sebagai curahan hati, tempat ngomongin bos-bos, haha.

Merasa ada bahasan bagus (baca: ngejelekin) tentang bu bos, saya dengan polosnya ngasih liat chat grup ke Ayang. Ayang pun komentar, "ghibah gitu berdosa kan?"

Jeng jeeeeng!

Dalam sedetik saya merengut dan sampai sore gak negur-negur Ayang.
Kenapa?

Well, karena he's so damn true and I know it.

Urusan ghibah ini udah lah ya gak perlu dijelasin, udah banyak ustadz yang mengingatkan umat tentang dosa ghibah. Sama kayak makan bangkai cuy, kan iyuh banget. Tapi saya tetep betah di grup itu karena it keeps my sanity.
Why my sanity?

Karena beberapa bulan terakhir ini saya benci berangkat kerja ke kantor, yang trigger-nya adalah kelakuan para bos itu. Karena ngejelekin bos di grup memberi saya kepuasan. Ditambah anggota lain yang mengamini. Berasa jadi member Rogue One, beraksi (baca: menggosip) underground.

Karena saya harus behave di kantor, yang mana itu gak sesuai sama isi hati saya yang pengennya nyumpah-nyumpahin para bos. Note: everything happens for a reason, dan kebencian saya pada pemutus kebijakan ini ada alasannya.

Jadi dengan komentar Ayang itu, saya merasa tertohok sekaligus sebel. Apa saya kudu left group? Trus saya mau nyampah di mana lagi?

Long story short, sore tadi Ayang ndusel-ndusel saya dan saya biarin. Udah ah capek gak teguran, entar saya gak dibantuin setrika, haha. Endingnya, saya gak left group. Moral storynya, langsung clear chat kalau abis ngomongin orang.

Dah ah, bye.