Barusan saya melihat share seorang sahabat lewat di timeline FB saya. Tentang persepsi bahwa dengan menikah, seorang laki-laki akan menemukan orang yang dapat mengurus dirinya, mencuci bajunya, memasak makanannya, membersihkan rumahnya, mengasuh anak-anaknya. Ini mau nyari istri apa pembantu?
Well, share FB tersebut membuat saya reflect ke kehidupan saya. Saya dibesarkan oleh seorang ibu yang memilih melepas pekerjaannya untuk mendidik anak-anaknya di rumah. Bahasa kerennya: full time mom. Maka, di rumah saya, ayah adalah sosok yang terima beres, rumah bersih, masakan siap, anak-anak kenyang dan ceria. Meskipun demikian, ayah ternyata bisa menggantikan peran ibu ketika ibu diopname di rumah sakit. Beliau memasak dan mengurus kami yang masih kecil-kecil.
Ayang, dibesarkan oleh seorang ibu yang sehari-harinya bekerja di luar rumah. Beliau adalah seorang guru. Maka, di rumah Ayang, semua penghuni rumah bahu membahu mengerjakan houseworks. Ayang terbiasa menyapu, mengepel, dan mencuci piring kotornya sendiri. Bahkan papa mertua saya hobi bersih-bersih dan nyiram tanaman.
Suatu pagi, saat Ayang sedang mengunjungi saya di rumah Palembang dalam rangka libur lebaran (kami sedang LDR ketika itu), Ayang keluar kamar dan mengambil sapu. Saya, sedang leyeh-leyeh nonton OVJ. Saat Ayang sedang mengambil ancang-ancang, Ibu saya muncul, lalu menegur saya. Beliau menyuruh saya yang menyapu. Ayang bilang bahwa ia biasa menyapu pagi-pagi di rumah. Namun Ibu saya keukeuh tidak memperbolehkan menantunya bersih-bersih. Jadilah saya yang menyapu dan Ayang bingung mau ngapain.
Saat saya dan Ayang hidup serumah, saya benar-benar melarangnya mengerjakan household chores. Alasannya karena saya sedih melihat Ayang capek keringetan. Maka semuanya saya kerjakan. Sampai suatu hari saya sedang berkutat dengan cucian (nyuci pake tangan bo!), Ayang mendadak mendekati bak cucian piring dan mulai membasuh piring-piring kotor. Saya bilang gak usah, biar saya aja yang ngerjain nanti. Ayang jawab gakpapa, pengen bantu, kasian saya lagi sibuk nyuci. Itulah pertama kali saya mengizinkan Ayang mengerjakan pekerjaan rumah.
Selanjutnya, saya keterusan. Hahaha.
Awalnya inisiatif Ayang sendiri, kayak mencuci piring tadi. Lama-lama saya minta tolong angkat jemuran. Lalu melipat baju. Kemudian nyetrika. LoL.
Setelah punya rumah sendiri akhirnya kami punya semacam pembagian tugas. Saya mencuci dan menjemur. Ayang buang sampah. Ayang bersihin kamar mandi. Saya masak. Ayang nyetrika kaos. Saya nyetrika kemeja kerja.
Jadi menurut saya, menikah itu kerja sama, saling membantu, tenggang rasa, dan tepo seliro (buset PPKn banget!). Namanya sama pasangan hidup ya harus sayang, masa tega biarin istri capek keringetan ngosrek lantai kamar mandi. Toh pas menikah, yang disebutkan adalah ijab qobul, bukan kontrak kerja.
Btw, ibu saya terkadang masih ngomelin saya kalau beliau telpon tanya menantunya sedang apa dan saya jawab sedang cabut rumput. Hahah.
Bye.